Welcome to My Blog
Ekspesikan dirimu melalui tulisan
Mulai dengan sebuah kata

Kamis, 11 April 2013

Pandangan Berbagai Agama Tentang Riba




Dalam Agama Islam Praktik Riba diharamkan. Tetapi bagaimana dalam agama – agama lainnya, seperti Hindu, Budha, Yahudi dan Kristen?

Artikel ini akan mengupas pandangan dari berbagai agama terhadap Riba.
Menurut Wayne A. M Visser dan Alastair Mclntosh (1998:175-198) bahwa praktik riba setidaknya sudah berjalan sejak empat ribu tahun yang lalu dan selama sejarah itu juga, praktik ini dikutuk, dilarang, dihina dan dihindari.


Riba dalam Hindu dan Budha
Praktek riba (rente) dalam agama Hindu dan Budha dapat kita temukan dalam naskah kuno India. Teks - teks Veda India kuno (2.000-1.400 SM) mengkisahkan “lintah darat” (kusidin) disebutkan sebagai pemberi pinjaman dengan bunga. Atau dalam dalam teks Sutra (700-100 SM) dan Jataka Buddha (600-400 SM) menggambarkan situasi sentimen yang menghina riba.


Riba dalam Agama Yahudi
Riba (rente) dalam Yudaisme sangat dicerca dan dicemooh. Kata Ibrani untuk bunga ‘neshekh‘, secara harfiah berarti “menggigit”. Pengertian ini merujuk pada bunga tinggi yang menyengsarakan. Dalam Keluaran dan Imamat, kata “riba” selalu berkaitan dengan pelarangan pinjaman kepada orang miskin dan melarat. Sementara dalam Ulangan, larangan ini diperluas untuk mencakup semua peminjaman uang. Selain itu, dalam kitab Talmud, dilarang mengambil bunga dalam beberapa jenis kontrak penjualan, sewa dan kerja. Larangan mendapatkan bunga tinggi tersebut tidak dianggap sebagai kejahatan dengan sanksi pidana mati melainkan hanya sebagai pelanggaran moral.


Riba dalam Agama Kristen
Dalam perjanjian baru Injil Lukas ayat 34:
“Jika kamu menghutangi kepada orang yang kamu harapkan imbalannya, maka di mana sebenarnya kehormatanmu, tetapi berbuatlah kebaikan dan berikanlah pinjaman dengan tidak mengharapkan kembalinya, karena pahala kamu akan sangat banyak.

Larangan praktek bunga juga dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk undang-undang (Canon):
Council of Elvira (Spanyol tahun 306) mengeluarkan Canon 20 yang melarang para pekerja gereja mem-praktekkan pengambilan bunga. Barangsiapa yang melanggar, maka pangkatnya akan diturunkan.

Council of Arles (tahun 314) mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang para pekerja gereja mempraktekkan pengambilan bunga.

First Council of Nicaea (tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan memecat para pekerja gereja yang mempraktekkan bunga.

Gereja Katolik Roma sejak abad ke-4 melarang pengambilan bunga oleh para kleru. Larangan ini diperluas bagi kaum awam pada abad ke-5. Pada abad ke-8, Gereja Katolik menyatakan riba menjadi tindak pidana umum. Gerakan anti-riba terus mendapatkan tempat selama awal Abad Pertengahan. Puncaknya, pada tahun 1311, Paus Clement V membuat larangan riba dan menyatakan bahwa semua undang-undang yang mendukung, batal demi hukum.

Pada tahun 1891, Paus Leo XIII dalam “Rerum Novarum“, riba dikatakan sebagai kerakusan. Walau sering dikutuk Gereja, praktek ini masih sering terjadi. Bahkan pada tahun 1989, Paus Yohanes Paulus II dalam Sollicitude Rei Socialis secara eksplisit menuduh praktek riba sebagai penyebab krisis dunia ketiga.

Namun, pada akhir abad 13 muncul aliran-aliran baru  yang berusaha menghilangkan pengaruh gereja yang mereka anggap kolot, sehingga peminjaman dengan bunga berkembang luas dan pengharaman bunga dari pihak gereja pun makin kabur. Sejak itu praktek bunga merajalela dan dianggap sah di Eropa.

Pada masa ini (abad XII-XVI) terjadi perkembangan di bidang perekonomian dan perdagangan. Uang dan kredit menjadi unsur yang penting dalam masyarakat. Pinjaman untuk memberi modal kerja kepada para pedagang mulai digulirkan pada awal Abad XII. Pasar uang perlahan-lahan mulai terbentuk. Proses tersebut mendorong terwujudnya suku bunga pasar secara meluas.

Bunga dibedakan menjadi interest dan usury. Menurut mereka, interest adalah bunga yang diperbolehkan, sedangkan usury adalah bunga yang berlebihan.


Riba dalam Agama Islam (Al-Quran dan Hadis)
Riba dalam Al - Quran
Penghraman Riba dilakukan secara bertahap.
Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zhahirnya seolah-olah menolong orang yang membutuhkan.
 “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Ruum [30]: 39)

Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah  mengancam dengan balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.
“Maka disebabkan kelaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,   dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari padanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An-Nisaa’ [4]: 160-161)

Tahap ketiga, Allah mengharamkan riba yang berlipat ganda. Sedangkan riba yang tidak berlipat ganda belum diharamkan. Allah berfirman :
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”(Ali Imran 130).
Ayat ini turun pada tahun ke 3 hijriyah. Secara umum ayat ini harus dipahami  bahwa kriteria berlipat-ganda bukanlah merupakan  syarat  dari terjadinya riba  (jikalau bunga berlipat ganda maka riba tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari  praktek pembungaan uang pada saat itu.

Tahap terakhir, Allah  dengan jelas dan tegas mengharam-kan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman baik bunga yang kecil maupun besar. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba.
 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”(Al-Baqarah: 278-279)

Riba dalam Hadis
“Dari Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi Saw bersabda: “Riba itu ada 73 tingkatan, yang paling ringan daripadanya adalah seumpama seseorang menzinai ibunya sendiri.” (Al-Hakim)

“Satu Dirham dari riba yang diambil seseorang, lebih besar dosanya di sisi Allah dari 33 kali berzina dalam agama Islam.”  (HR.Thabrany)
"
 Rasulullah Saw melaknat pemakan riba, orang yang membayarnya, juru tulisnya, dan saksi-saksinya. Dia bersabda,”Mereka semua sama.” (HR. Muslim)

Tinggalkanlah tujuh perkara yang membinasakan. Para sahabat bertanya, “Apakah itu ya Rasul?. Beliau menjawab, syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa orang yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri ketika peperangan berkecamuk, menuduh wanita suci berzina”. (HR..dari Abu Hurairah).

Dalam hadits lain Nabi barsabda, “Empat golongan yang tidak dimasukkan ke dalam syurga dan tidak merasakan nikmatnya, yang menjadi hak prerogatif Allah, Pertama, peminum kahamar, Kedua pemakan riba, Ketiga, pemakan harta anak  yatim dan keempat, durhaka kepada orang tuanya”.(H.R. Hakim).









Sumber: Modul KIEI FEUI, 20 Oktober 2012 oleh M. Ridwan (Iqtishad Consulting)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar