Dalam
Agama Islam Praktik Riba diharamkan. Tetapi bagaimana dalam agama – agama
lainnya, seperti Hindu, Budha, Yahudi dan Kristen?
Artikel
ini akan mengupas pandangan dari berbagai agama terhadap Riba.
Menurut
Wayne A. M Visser dan Alastair Mclntosh (1998:175-198) bahwa praktik riba
setidaknya sudah berjalan sejak empat ribu tahun yang lalu dan selama sejarah
itu juga, praktik ini dikutuk, dilarang, dihina dan dihindari.
Riba dalam Hindu dan Budha
Praktek riba (rente) dalam agama Hindu dan Budha dapat
kita temukan dalam naskah kuno India. Teks - teks Veda India kuno (2.000-1.400
SM) mengkisahkan “lintah darat” (kusidin) disebutkan sebagai pemberi pinjaman
dengan bunga. Atau dalam dalam teks Sutra (700-100 SM) dan Jataka Buddha
(600-400 SM) menggambarkan situasi sentimen yang menghina riba.
Riba dalam Agama Yahudi
Riba (rente)
dalam Yudaisme sangat dicerca dan dicemooh. Kata Ibrani untuk bunga ‘neshekh‘,
secara harfiah berarti “menggigit”. Pengertian ini merujuk pada bunga tinggi
yang menyengsarakan. Dalam Keluaran dan Imamat, kata “riba” selalu berkaitan
dengan pelarangan pinjaman kepada orang miskin dan melarat. Sementara dalam
Ulangan, larangan ini diperluas untuk mencakup semua peminjaman uang. Selain
itu, dalam kitab Talmud, dilarang mengambil bunga dalam beberapa jenis kontrak
penjualan, sewa dan kerja. Larangan mendapatkan bunga tinggi tersebut tidak
dianggap sebagai kejahatan dengan sanksi pidana mati melainkan hanya sebagai
pelanggaran moral.
Riba dalam Agama Kristen
Dalam perjanjian baru Injil Lukas ayat 34:
“Jika kamu menghutangi kepada
orang yang kamu harapkan imbalannya, maka di mana sebenarnya kehormatanmu,
tetapi berbuatlah kebaikan dan berikanlah pinjaman dengan tidak mengharapkan
kembalinya, karena pahala kamu akan sangat banyak.
Larangan
praktek bunga juga dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk undang-undang (Canon):
Council of Elvira (Spanyol tahun
306) mengeluarkan Canon 20 yang melarang para pekerja gereja mem-praktekkan
pengambilan bunga. Barangsiapa yang melanggar, maka pangkatnya akan diturunkan.
Council of Arles (tahun 314) mengeluarkan
Canon 44 yang juga melarang para pekerja gereja mempraktekkan pengambilan
bunga.
First Council of Nicaea (tahun
325) mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan memecat para pekerja gereja
yang mempraktekkan bunga.
Gereja Katolik
Roma sejak abad ke-4 melarang pengambilan bunga oleh para kleru. Larangan ini
diperluas bagi kaum awam pada abad ke-5. Pada abad ke-8, Gereja Katolik
menyatakan riba menjadi tindak pidana umum. Gerakan anti-riba terus mendapatkan
tempat selama awal Abad Pertengahan. Puncaknya, pada tahun 1311, Paus Clement V
membuat larangan riba dan menyatakan bahwa semua undang-undang yang mendukung,
batal demi hukum.
Pada tahun
1891, Paus Leo XIII dalam “Rerum Novarum“, riba dikatakan sebagai
kerakusan. Walau sering dikutuk Gereja, praktek ini masih sering terjadi.
Bahkan pada tahun 1989, Paus Yohanes Paulus II dalam Sollicitude Rei
Socialis secara eksplisit menuduh praktek
riba sebagai penyebab krisis dunia ketiga.
Namun, pada akhir abad 13 muncul aliran-aliran baru yang berusaha menghilangkan pengaruh gereja
yang mereka anggap kolot, sehingga peminjaman dengan bunga berkembang luas dan
pengharaman bunga dari pihak gereja pun makin kabur. Sejak itu praktek bunga
merajalela dan dianggap sah di Eropa.
Pada masa ini (abad XII-XVI) terjadi perkembangan di
bidang perekonomian dan perdagangan. Uang dan kredit menjadi unsur yang penting
dalam masyarakat. Pinjaman untuk memberi modal kerja kepada para pedagang mulai
digulirkan pada awal Abad XII. Pasar uang perlahan-lahan mulai terbentuk.
Proses tersebut mendorong terwujudnya suku bunga pasar secara meluas.
Bunga dibedakan menjadi interest dan usury.
Menurut mereka, interest adalah bunga yang diperbolehkan, sedangkan usury
adalah bunga yang berlebihan.
Riba dalam Agama Islam (Al-Quran dan
Hadis)
Riba dalam Al - Quran
Penghraman Riba dilakukan secara bertahap.
Tahap pertama, menolak
anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zhahirnya seolah-olah menolong orang
yang membutuhkan.
“Dan sesuatu
riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka
riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat
yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian)
itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Ruum
[30]: 39)
Tahap kedua, riba
digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah
mengancam dengan balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan
riba.
“Maka disebabkan kelaliman
orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik
(yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi
(manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka
memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari padanya, dan
karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang
pedih.” (QS. An-Nisaa’ [4]: 160-161)
Tahap ketiga, Allah
mengharamkan riba yang berlipat ganda. Sedangkan riba yang tidak berlipat ganda
belum diharamkan. Allah berfirman :
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”(Ali Imran
130).
Ayat ini turun pada tahun ke 3 hijriyah. Secara umum
ayat ini harus dipahami bahwa kriteria
berlipat-ganda bukanlah merupakan
syarat dari terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba
tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktek pembungaan uang pada saat itu.
Tahap terakhir, Allah dengan jelas dan tegas mengharam-kan apa pun
jenis tambahan yang diambil dari pinjaman baik bunga yang kecil maupun besar.
Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat
(dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan
tidak (pula) dianiaya.”(Al-Baqarah: 278-279)
Riba dalam Hadis
“Dari Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi
Saw bersabda: “Riba itu ada 73 tingkatan, yang paling ringan daripadanya adalah
seumpama seseorang menzinai ibunya sendiri.” (Al-Hakim)
“Satu Dirham dari riba yang
diambil seseorang, lebih besar dosanya di sisi Allah dari 33 kali berzina dalam
agama Islam.” (HR.Thabrany)
"
Rasulullah
Saw melaknat pemakan riba, orang yang membayarnya, juru tulisnya, dan
saksi-saksinya. Dia bersabda,”Mereka semua sama.” (HR. Muslim)
“Tinggalkanlah tujuh perkara yang membinasakan. Para
sahabat bertanya, “Apakah itu ya Rasul?. Beliau menjawab, syirik kepada Allah,
sihir, membunuh jiwa orang yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan
riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri ketika peperangan berkecamuk,
menuduh wanita suci berzina”. (HR..dari Abu Hurairah).
Dalam hadits lain Nabi barsabda, “Empat golongan yang tidak dimasukkan ke dalam syurga dan tidak
merasakan nikmatnya, yang menjadi hak prerogatif Allah, Pertama,
peminum kahamar, Kedua pemakan riba,
Ketiga, pemakan harta anak yatim dan
keempat, durhaka kepada orang tuanya”.(H.R. Hakim).
Sumber:
Modul KIEI FEUI, 20 Oktober 2012 oleh M. Ridwan (Iqtishad Consulting)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar