Welcome to My Blog
Ekspesikan dirimu melalui tulisan
Mulai dengan sebuah kata

Selasa, 01 Maret 2011

Kasus Hak Cipta "Kasus Band Gigi Somasi MVP Pictures PH Film Toilet 105"


Kasus Band Gigi Somasi MVP Pictures PH Film Toilet 105 lagi jadi bahasan heboh gosip selebritis terkini. Surat teguran ini diberikan karena Production House yang bersangkutan menggunakan lagu Ya Ya Ya sebagai backsound film horor Indonesia itu tanpa izin. Kasus pelanggaran hak cipta ini sendiri saat ini ditangani oleh pengacara Mada SH.

Berita cukup mengejutkan mewarnai film hantu yang diperankan oleh Coralie Gerald, Ricky Harun, Aming, dkk. Meski sudah diputar sejak tanggal 14 Januari 2010 lalu, tetapi perkara hukum terhadap tayangan layar lebar itu baru aja menyeruak.

Adalah grup band papan atas, Gigi, yang sudah melayangkan surat somasi kepada rumah produksi MPV pictures, karena dianggap tidak meminta izin mereka atas penggunaan lagu YaYaYa sebagai backsound di film terbaru produksi Multivision tersebut.

Arman Maulana, dkk yang mewakili kuasa hukumnya, Mada SH, mengkonfirmasikan berita ini di sebuah kafe yang terletak di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Minggu siang,  31 Januari 2010.

Menurut penjelasan Mada, manajemen Gigi mempertanyakan tindakan sebuah production house terkenal, yang memproduksi film “Toilet 105”.

Karena di dalam film yang dibintangi actor muda Ricky Harun itu, terpasang lagu “Ya Ya Ya” milik Armand Cs sebagai salah satu tembang lagu yang dijadikan backsound dalam film bergenre horor itu.

Pengacara berkepala plontos ini lantas menegaskan jika pihak rumah produksi tersebut sudah melakukan sebuah kasus hukum pelanggaran hak cipta, karena tidak meminta izin pemakaian lagu pada band yang bersangkutan.

“kita melayangkan somasi berupa teguran untuk mempertanyakan penggunaan lagu “Ya Ya Ya” milik Gigi di dalam film “Toilet 105”, tanpa seizing pihak manajemen terlebih dahulu.”
“ini adalah sebuah pelanggaran hak cipta.”

Kuasa hukum yang eksis dengan kacamata ini sebagai perwakilan dari manajemen Gigi, memberikan batas waktu selama 7 hari pada pihak PH untuk mengklarifikasi tindakan mereka.

Sampai saat ini, upaya menyelesaikan permasalahan dengan jalan kekeluargaan masih dibuka lebar oleh grup yang sering nongol di lagu religi ini.
“kami memberi waktu selama seminggu ini untuk mereka memberikan klarifikasi.”
“upaya kekeluargaan mmasih kita harapkan dalam menyelesaikan masalah ini.”

Menurut Mada, pihak manajemen pelantun Ost Film Sang Pemimpi ini masih belum berpikir untuk menyelesaikan lewat jalur hukum.
“belum ada rencana untuk menempuh jalur hukum.”

Nah, mending kita tunggu aja perkembangan kasus ini. semoga jalan kekeluargaan bisa menyelesaikan missunderstanding yang terjadi.
Penulis: Oktavita



Komentar:
Ternyata meski sudah ada hukum yang mengatur tentang hak cipta, masih ada saja pihak-pihak yang melanggarnya. Mungkin memang benar, aturan dibuat untuk dilanggar. Seperti contoh kasus di atas, jelas terlihat kalau fungsi hukum dalam penegakan kasus pelanggaran HAKI atau hak cipta masih sangat rendah.

Sesungguhnya kita juga tidak tahu apa yang terjadi dibalik kasus ini. mungkin juga kasus ini dijadikan ajang promosi bagi pihak PH tersebut. Namun apapun alasannya, tidak ada yang bisa membenarkan tindakan melanggar hukum dan seharusnya jangan sampai merugikan orang lain cuma untuk mengejar keuntungan pribadi semata (keuntungan salah satu pihak).

Selain penegakan hukum harus dipertegas, semua orang (masyarakat) harus juga menumbuhkan mentalitasnya sebagai pribadi yang bertanggung jawab. Sehingga tidak ada lagi kasus seperti di atas.

Kasus HAKI "Vonis Kasus Pembajakan Software Masih Lembek"


Vonis Kasus Pembajakan Software Masih Lembek
Ardhi Suryadhi
– detikinet
Jakarta - Hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku tindak pembajakan software dirasa masih terlalu ringan. Padahal, mereka sudah terbukti bersalah.

Dijelaskan Kombespol Toni Hermanto, Kanit I Indag Direktorat II Ekonomi Khusus Bareskrim Mabes Polri, UU Hak Cipta Pasal 72 ayat 3 yang mengatur pembajakan software memiliki batas maksimal hukuman 5 tahun kurungan dan denda Rp 500 juta. Sementara batas minimal denda Rp 1 juta dan kurungan 1 bulan.
Namun pada kenyataannya, sering kali putusan pengadilan memberikan hukuman yang tidak maksimal alias rendah dan tidak menimbulkan efek jera.

"Lihat saja pada kasus PT K yang diproses sejak 2008 lalu dan baru diputuskan November 2009. Sudah lama prosesnya, hukumannya cuma 6 bulan penjara dan denda Rp 10 juta," tukasnya, dalam jumpa pers di Restoran Sindang Reret, Jakarta, Rabu (13/1/2009).

Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran HaKI sendiri, lanjut Toni, telah memberi perhatian akan hal ini. "Tapi kita juga tidak bisa terlalu ikut campur prosesnya di pengadilan," lanjutnya.

Johannes Dicky, CEO Businessoft Indonesia menambahkan, di wilayah Eropa juga telah dipakai sistem penegakan hukum proporsional yang dianggap bakal menimbulkan efek jera. 

"Karena yang sebelumnya lebih ringan, sedangkan investasi di industri TI sendiri cukup besar,"pungkasnya. ( ash / faw )

Komentar:
Seiring dengan berkembangnya teknologi, perangkat lunak atau yang sering kita sebut dengan software pun berkembang dengan begitu pesat. Software-software yang ada sekarang juga beragam. 

Hal ini juga tentu tidak dilewatkan oleh para pembajak software, karena bisa mendatangkan keuntungan yang menggiurkan. Apalagi perkembangan teknologi menyebabkan kebutuhan akan software tertentu meningkat. Seperti kita tahu bersama harga software ori mahal, maka tidak jarang banyak orang yang menggunakan software bajakan.  

Meskipun telah ada Hak Paten atau Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) yang melindungi dari para pembajak software. Namun sayangnya pembajak software makin membludag, bukan malah berkurang malah bertambah jumlahnya. UU HAKI nampaknya belum bisa membendung para pembajak software. Apalagi setelah membaca kasus di atas, hukuman bagi para pembajak software masih dirasa kurang, sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi pelakunya. Hal ini juga turut memperparah pembajakan software di negara kita, walaupun memang masih banyak faktor lainnya yang tidak bisa diabaikan.

Harus disadari oleh semua pihak bahwa pembajakan merupakan sesuatu yang salah dilihat dari aspek manapun. Dilihat dari aspek hukum jelas salah, sudah ada UU yang mengatur tentang hal tersebut. Dari aspek agama juga demikian, karena pembajakan sama saja dengan mendzolimi orang lain. Selanjutnya jika semua orang telah menyadari bahwa pembajakan merupakan sesuatu yang salah, maka harus ada solusi bagi orang tersebut untuk mendapatkan software yang legal. 

Oleh karena itu, ada baiknya jika pemerintah tidak hanya menghukum para pembajak software dengan seberat-beratnya tetapi juga pemerintah harus mencari dan mempelajari factor-faktor yang menyebabkan pembajakan software makin marak. Kemudian mencari solusi untuk mengatasi pembajakan software tersebut. Nampaknya masalah pembajakan software ini memang masih menjadi PR untuk pemerintah kita. Kita berharap saja akan ada solusi yang terbaik untuk kasus ini.