Welcome to My Blog
Ekspesikan dirimu melalui tulisan
Mulai dengan sebuah kata

Rabu, 20 Oktober 2010

Paket Deregulasi Perbankan


Perekonomian Indonesia pada tahun ’80-an masih mengalami pasang surut. Untuk itu pemerintah melakukan kebijakan deregulasi yang dijalankan secara bertahap pada sektor keuangan dan perekonomian. Salah satu tujuan dilakukannya deregulasi adalah untuk membangun sistem perbankan yang sehat dan tangguh.
Di bawah ini adalah beberapa paket deregulasi:

1.      Paket Deregulasi 1 Juni 1983 (Pakjun 1983)
               Dengan dikeluarkannya paket kebijakan 1 Juni 1983 atau yang dikenal dengan    Pakjun 1983, bank- bank memperoleh kebebasan dalam menentukan besarnya kredit yang      diberikan sesuai dengan besarnya dana masyarakat yang dihimpun. Di samping itu,   kepada bank-bank pemerintah diberi kebebasan menentukan sendiri tingkat suku bunga      baik     suku bunga dana maupun kredit. Kebijakan tersebut bertujuan agar perbankan       sebanyak mungkin membiayai pemberian kreditnya dengan dana simpanan masyarakat            dan mengurangi ketergantungan bank-bank pada KLBI. Kemudian dihapusnya campur    tangan Bank Indonesia terhadap penyaluran kredit.
               Pakjun 1983 belum mengatur          perubahan kebijakan kelembagaan dan dorongan      perbankan untuk menciptakan produk-  produk jasa perbankan baru maupun meningkatkan efisiensi dalam operasi bank.  Tetapi       paket deregulasi ini adalah yang   pertama memperkenalkan Sertifikat Bank Indonesia             (SBI) dan Surat Berharga Pasar            Uang (SPBU). Dengan dikeluarkannya paket ini diharapkan akan merangsang minat       usaha di bidang perbankan.

2.      Paket Deregulasi 27 Oktober 1988 (Pakto 88)
Paket kebijakan deregulasi perbankan 27 Oktober 1988 atau yang biasa disingkat dengan Pakto 88 berisi tentang pembebasan bank- bank dalam menentukan sendiri keseimbangan tingkat bunganya masing- masing.
Pakto 88 menjadi titik balik dari berbagai penertiban perbankan 1971-1972. Pemberian izin usaha bank baru yang sudah dihentikan sejak 1971 dibuka kembali pada Pakto 88. Bahkan adanya kemudahan yang belum pernah dirasakan oleh dunia perbankan yaitu ijin pembukaan kantor cabang atau pendirian BPR menjadi lebih dipermudah dengan persyaratan modal yang ringan. Salah satu ketentuan fundamental dalam Pakto 88 adalah perijinan untuk bank devisa yang hanya mensyaratkan tingkat kesehatan dan aset bank telah mencapai minimal Rp 100 juta. Tetapi Pakto 88 juga mempunyai dampak negatif yaitu dalam bentuk penyalahgunaan kebebasan dan kemudahan oleh para pengurus bank. Bersamaan dengan kebijakan Pakto 88, BI secara intensif memulai pengembangan bank-bank sekunder seperti bank pasar, bank desa, dan badan kredit desa. Kemudian bank karya desa diubah menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Tujuan pengembangan BPR tersebut adalah untuk memperluas jangkauan bantuan pembiayaan untuk mendorong peningkatan ekonomi, terutama di daerah pedesaan, di samping untuk modernisasi sistem keuangan pedesaan. Dengan kemudahan yang diberikan pada Pakto 88, maka meledaklah jumlah bank di Indonesia.

3.      Paket Deregulasi Januari 1990 (Pakjan 90)
         Dalam Paket Januari 1990 (Pakjan 90), bank-bank umum wajib mengalokasikan 20 persen dari total kreditnya kepada pengusaha lemah atau maksimal kredit yang diberikan kepada pengusaha lemah Rp 200 juta. Namun, dalam Pakjan 90 ini yang masuk kategori usaha lemah adalah usaha yang beraset maksimal Rp 600 juta.

4.      Paket Deregulasi 28 Februari 1991 (Paktri 1991)
Diawali dengan banyaknya jumlah bank yang membuat kompetisi pencarian tenaga kerja, mobilisasi dana deposito dan tabungan juga semakin makin sengit. Ujung-ujungnya, karena bank terus dipacu untuk mencari untung, sisi  keamanan penyaluran dana terabaikan, dan akhirnya kredit macet menggunung. Kondisi ini lalu memunculkan yang  mendorong dimulainya proses globalisasi perbankan. Hal ini yang akhirnya memunculkan paket deregulasi Februari 1991 atau Paktri.
Salah satu tugas Paktri adalah berupaya mengatur pembatasan dan  pemberatan persyaratan perbankan dengan mengharuskan dipenuhinya persyaratan permodalan minimal 8 persen dari kekayaan. Penyempurnaan Pengawasan dan Pembinaan Bank, yang memulai penerapan rambu-rambu kehati-hatian yang mengacu pada standar perbankan internasional yang antara lain meliputi ketentuan mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, Pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif. Yang diharapkan dalam paket ini adalah akan adanya peningkatan kualitas perbankan Indonesia. Dengan mewajibkan bank-bank memenuhi aturan penilaian kesehatan bank yang mempergunakan formula kriteria tertentu, tampaknya paket itu tidak bisa menghindari kesan sebagai produk aturan yang diwarnai trauma atas terjadinya kasus kolapsnya Bank Perbankan Asia, Bank Duta, dan Bank Umum Majapahit.
Setelah itu, lahir UU Perbankan baru bernomor 7 tahun 1992 yang disahkan oleh Presiden Soeharto pada 25 Maret 1992. Undang Undang itu merupakan penyempurnaan UU Nomor 14 tahun 1967. Intinya, UU itu menggarisbawahi soal peniadaan pemisahan perbankan berdasarkan kepemilikan. Kalau UU yang lama secara tegas menjelaskan soal pemilikan bank/ pemerintah, pemerintah daerah, swasta nasional, dan asing. Mengenai perizinan, pada UU lama persyaratan mendirikan bank baru ditekankan pada permodalan dan pemilikan. Pada UU yang baru, persyaratannya meliputi berbagai unsur seperti susunan organisasi, permodalan, kepemilikan, keahlian di bidang perbankan, kelayakan kerja, dan hal-hal lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan pertimbangan Bank Indonesia.

5.      Paket Deregulasi Mei 1993 (Pakmei 1993)
Untuk mengurangi sebagian kendala yang dihadapi perbankan dalam melakukan ekspansi kredit dan koreksi terhadap Paktri yang begitu mengekang bank, pemerintah mengeluarkan Dengan Pakmei itu, pemerintah berharap mengucurkan kredit, sehingga dunia usaha tidak lesu lagi dan industri otomotif bisa bergairah kembali. Disebutkan dalam Pakmei ini pencapaian CAR (capital adiquacy ratio) atau rasio kecukupan modal diperlonggar. Perimbangan antara modal sendiri dan asset sesuai dengan ketentuan adalah 8 persen. Kemudian penyempurnaan lain pada paket itu adalah ketentuan loan to deposit ratio (LDR) atau pemberian kredit kepada pihak ketiga. Dengan ketentuan ini bank hanya diberikan 20 persen untuk menyalaurkan kredit kepada grupnya sendiri.Yang menarik dari kebijakan ini, KUK dibawah Rp 25 juta dapat digunakan untuk kegiatan tidak produktif.
         peraturan Pemerintah (PP) No. 68 tahun 1996
Aturan yang terakhir keluar ini yang ditandatangani Presiden RI pada 3 Desember 1996. Belajar dari pengalaman Bank Summa, PP ini sangat menguntungkan para nasabah karena nasabah bank akan tahu persis rapor banknya. Dengan begitu, mereka bisa ancang-ancang jika suatu saat banknya sedang goyah atau bahkan nyaris pailit.

6.      Paket Deregulasi 7 Juli 1997 (Pakjul 1997)
Dalam Paket deregulasi 7 Juli 1997 atau yang dikenal dengan Pakjul 1997, pemerintah melarang bank umum untuk memberikan kredit baru untuk pengadaan dan pengolahan lahan. Dengan kata lain, bank-bank tidak diperkenankan memberikan kredit kepada pengembang untuk membuka lahan baru. Kecuali untuk pengadaan rumah sederahana (RS) dan sangat sederhana (RSS).  

Review:
Pada awal tahun ‘80-an, perbankan Indonesia masih belum stabil. Oleh karena itu pemerintah mengambil kebijakan deregulasi untuk mewujudkan perbankan yang sehat dan tangguh. Beberapa paket deregulasi antara lain:
1.      Pakjun 1983 berisi tentang kebebasan bank pemerintah dalam menentukan tingkat suku bunga dan paket ini juga yang pertama kali mengeluarkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Pasar     Uang (SPBU);
2.      Pakto 88 memberikan kemudahan dalam pendirian bank baru sehingga terjadi ledakan jumlah bank di Indonesia;
3.      Dalam pakjan 90, bank umum wajib mengalokasikan 20% dari total kreditnya kepada pengusaha lemah (yang masuk kategori usaha lemah adalah yang beraset maksimal Rp 600 juta );
4.      Paktri 1991 berisi ketentuan yang mewajibkan bank berhati- hati dalam pengelolahannya dan adanya klasifikasi jenis bank;
5.      Pakmei 1993 melonggarkan ketentuan kehati- hatian yang diterapkan pada Paktri 1991 yang terlalu berhati- hati dan memiliki ketentuan yang ketat sehingga membebani perbankan;
6.      Pakjul 1997 melarang bank umum memberikan kredit kepada pengembang untuk membuka lahan baru.

Sumber;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar